Selasa, 05 Juni 2012

Sisi lain dari ujian nasional(UN)


Sisi lain dari ujian nasional((UN)
oleh Muh Taukhid   

        Ujian Nasional (UN) tingkat SMA sederajat, SMP sederajat dan Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) memakan biaya yang sangat besar. Menjadi pertanyaan kita semua apakah anggaran besar untuk pelaksanaan UN dan UASBN tersebut sepadan dengan hasil yang ingin dicapai yakni meningkatkan mutu pendidikan.
Pemerintah bersikeras bahwa UN adalah harga mati untuk meningkatkan mutu pendidikan. Bahkan wakil presiden Jusuf Kalla (JK) yang juga capres pada pemilihan presiden (pilpres) 2009 ini mengindikasikan akan terus melaksanakan UN sebagai salah satu syarat kelulusan para siswa.

          Ada hal mendasar yang terlupakan oleh petinggi di Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dalam kebijakan-kebijakannya, terutama dalam penyelenggaraan UN, yaitu bahwa setiap siswa adalah unik dan berbeda. Bagaimana mungkin mengharapkan semua siswa untuk dapat menguasai semua mata pelajaran dengan baik bahkan sempurna sedangkan kita mengenal bahwa ada yang dinamakan kecerdasan majemuk. Setiap siswa memiliki kecendrungan menguasai beberapa kecerdasan tertentu dan lemah pada kecerdasan lainnya.

          Klaim banyak pejabat bahwa mutu pendidikan Indonesia meningkat adalah omong kosong. Para pejabat tersebut hanya membaca data di atas kertas. Memang data hasil UN baik untuk tingkat kelulusan dan angka rata-rata masing-masing mata pelajaran setiap tahunnya cenderung selalu meningkat.

          Namun hal tersebut sama sekali tidak sejalan dengan keadaan sebenarnya yang terjadi di lapangan. Penyebabnya sederhana saja siswa dan guru tidak ingin gagal. Sebagai akibatnya mereka rela melakukan apa saja asal lulus. Fakta ini telah menjadi pengetahuan umum di masyarakat. Tetapi karena ketidakpekaan pemerintah maka semuanya tidak dianggap sama sekali. Pejabat depdiknas melalui menterinya sendiri mengakui bahwa ada kecurangan tetapi menurut beliau kecurangan hanya terjadi di sedikit tempat dan tidak memengaruhi pelaksanaan UN secara nasional. Padahal kenyataaanya kecurangan terjadi merata hampir di seluruh sekolah di Indonesia.

Ekspresi Kululusan Siswa dan Peran Sekolah
         Sisi lain yang menarik dari UN adalah pada saat kelulusan. Momen ini sangat ditunggu oleh guru, orang tua dan terutama sekali oleh siswa. Terlepas dari apakah mereka jujur atau curang pada saat pelaksanaan UN, pengumuman UN tetap sebagai momen istimewa.
Siswa tentu berhak untuk merayakan dan mengekspresikan kelulusan mereka. Ada berbagai macam cara yang mereka lakukan dalam merayakan kesuksesan mereka lulus dalam UN. Yang paling terkenal tentu saja adalah aksi mereka mencoret pakaian seragam sekolah dan setelahnya berkonvoi keliling kota (biasanya tanpa menggunakan helm).
Himbauan dan larangan agar siswa tidak mengekspresikan kelulusan mereka dengan cara mencoret pakaian dan berkonvoi sudah sering. Tetapi siswa tetap dengan pendapat dan argumen mereka bahwa saat kelulusan ini adalah waktu yang tepat untuk merayakannya tentu dengan cara mereka sendiri.
             Sudah sedemikian parahkah para siswa kita yang tidak lagi mendengarkan nasihat dari guru dan orang tua agar tidak mencoret pakaian seragam dan berkonvoi dalam merayakan kelulusan. Sebelum menyalahkan para siswa ada baiknya guru dan orang tua mengingat kembali saat mereka seumuran para siswa. Dengan demikian akan dihasilkan sebuah solusi cerdas agar siswa tetap dapat merayakan dan mengekpresikan kelulusan mereka sementara itu tetap pada jalur yang sesuai dengan keinginan guru dan orang tua.
Guru dan orang tua harus ingat akan satu hal bahwa siswa memerlukan wadah dan sarana dalam mengekspresikan kelulusan mereka. Selama ini sangat jarang sekolah yang mengarahkan siswa mereka mengekspresikan kelulusan dengan cara yang lebih baik dan terarah.
             Memang ada sekolah yang memiliki tradisi unik dan baik dalam merayakan kelulusan. Ambil salah satu contohnya di kota Banjarmasin adalah SMA Korpri. Tetapi di sekolah lainnya hampir tidak ada yang memfasilitasi siswa pada saat kelulusan. Sebagai akibatnya siswa bergerak sendiri dengan cara mereka sendiri dalam mengekspresikan kelulusan. Guru dan orang tua marah-marah melihatnya. Padahal guru dan orang tua secara tidak sadar telah ikut andil (membuat siswa mencoret pakaian seragam dan berkonvoi ria) karena tidak memfasilitasi acara atau kegiatan yang bermanfaat bagi anak dan siswa mereka dalam merayakan kelulusan.

Menata Ulang UN
            Guru sebagai praktisi pendidikan di lapangan harus berbuat agar bangsa ini tidak semakin terpuruk. Salah satu upaya tersebut adalah agar guru dapat memastikan UN mendatang berjalan dengan jujur. Tidak dapat dimungkiri kecurangan UN antara lain disponsori oleh guru. Guru kita harapkan tidak akan lagi menjadi aktor curang pada pelaksanaan UN mendatang.
Memang ada pendapat bahwa guru hanyalah korban dari kebijakan (curang) Depdiknas. Tetapi guru jangan hanya mengatakan bahwa kebijakan UN adalah kebijakan curang dan diam saja tanpa berbuat apa-apa. Guru (melalui organisai PGRI dan organisasi lainnya) harus bersatu menuntut Depdiknas agar meninjau ulang format UN sebagai salah satu syarat kelulusan yang terbukti membuat siswa dan guru berbuat curang.
UN sebagai barometer mutu pendidikan adalah wajib ada. Hanya pemerintah perlu mempertimbangkan kembali UN sebagai syarat kelulusan. Presiden yang terpilih melalui pilpres 2009 nanti kita harapkan dapat memilih orang terbaik di bidang pendidikan untuk memimpin Depdiknas. Orang yang benar paham dan mengerti tentang dunia pendidikan. Agar tragedi yang terjadi pada pelaksanaan UN tidak akan terjadi lagi.

Sumber: guswan76.wordpress.com/.taukhidoct.blogspot.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar